Pelatihan Santri Entrepreneur – Program pelatihan santri entrepreneur di Kabupaten Sumenep, Madura, masih dalam tahap konsep dan belum terkonsep matang. Meskipun anggaran sebesar Rp 990 juta telah disiapkan untuk tahun ini, Kepala Dinas Kebudayaan, Kepemudaan, Olahraga, dan Pariwisata (Disbudporapar) Sumenep, Mohamad Iksan, menyatakan bahwa pihaknya masih menunggu petunjuk dari bupati untuk menentukan jenis pelatihan yang akan diselenggarakan.
Iksan mengemukakan bahwa penting bagi bupati untuk mendengar aspirasi dari pondok pesantren (ponpes) guna menentukan jenis pelatihan yang sesuai. Ia menekankan perlunya berdiskusi dengan ponpes untuk memahami kebutuhan dan peluang usaha yang dibutuhkan oleh santri. Sebagai informasi, pada tahun sebelumnya, jenis pelatihan bervariasi, seperti menjahit, membatik, dan membuat belangkon pada 2022, serta pelatihan membatik pada 2023.
Menurut Iksan, jenis pelatihan tersebut disesuaikan dengan peluang usaha yang dibutuhkan dan meratakan aspek pembangunan ekonomi di masyarakat. “Kami targetkan, serap aspirasi untuk menentukan jenis pelatihan paling lambat tuntas Agustus,” ujarnya.
Dalam hal ini, Disbudporapar Sumenep akan turun langsung ke pesantren jika hingga Agustus belum tercapai kesepakatan. Iksan memastikan bahwa anggaran kegiatan dari APBD 2024 sebesar Rp 990 juta akan terealisasi tahun ini, dengan target peserta sebanyak 100 orang, sama dengan tahun sebelumnya. Setiap peserta juga akan diberi bantuan alat produksi untuk mendukung usaha mereka.
Iksan menegaskan bahwa peserta program haruslah santri yang aktif menetap di pesantren. Hal ini perlu dibuktikan dengan kartu santri dan surat rekomendasi dari pesantren. Kebijakan ini sejalan dengan masukan dari lembaga legislatif setempat.
Namun, anggota Komisi IV DPRD Sumenep, Nurus Salam, mengkritik pendekatan yang diambil oleh Disbudporapar Sumenep. Menurutnya, perencanaan program santri entrepreneur seharusnya sudah tuntas sejak awal tahun, dan kritikannya tertuju pada kurangnya keseriusan pihak eksekutif dalam melaksanakan program tersebut. Salam menilai bahwa jika kegiatan belum jelas, penganggarannya juga patut dipertanyakan. Ia mendesak agar eksekutif segera menyusun perencanaan kegiatan dengan matang, terutama mengenai jenis pelatihan yang akan dilaksanakan. Tujuannya adalah agar program dapat direalisasikan secepatnya.
Pertanyaan pun muncul mengenai konsistensi pelaksanaan program pelatihan santri entrepreneur ini di masa mendatang. Sejauh mana pemerintah daerah bersinergi dengan pondok pesantren dan apakah program ini benar-benar mampu memberikan dampak positif dalam pengembangan ekonomi masyarakat lokal, khususnya santri yang mengikutinya. Dengan alokasi anggaran yang signifikan, masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya tentu berharap agar program ini dapat diimplementasikan secara efektif dan berkelanjutan.
Persiapan pelaksanaan program pelatihan santri entrepreneur di Sumenep masih memerlukan penyempurnaan konsep, dan partisipasi serta aspirasi dari pesantren menjadi faktor kunci keberhasilan program ini. Kritik terhadap kelambatan perencanaan juga menunjukkan perlunya ketegasan dan tanggung jawab dalam melaksanakan program yang memiliki dampak signifikan terhadap perkembangan ekonomi masyarakat.