Menggapai Taqwa yang Produktif

Oleh: Dr. Solahuddin Harahap, MA
(Ketua DPP Gerakan Dakwah Kerukunan dan Kebangsaan)

Dalam konteks pencapaian spiritualitas, al-Qur’ān telah membuat stratifikasi manusia kepada empat golongan secara hirerarkis dari tingkatan strata paling bawah yaitu: (1) al-muslimūn; (2) al-mukminūn; (3) al-muhsinūn; dan (4) al-muttaqūn sebagai golongan tertinggi. Dilihat pada stratifikasi tersebut, maka posisi taqwa atau orang bertaqwa di tengah-tengah suatu masyarakat atau suatu bangsa merupakan al yang sangat penting. Bahkan tidak berlebihan jika dise utkan bahwa kualitas sumberdaya manusia yang dimiliki oleh suatu masyarakat atau bangsa, sangat ditentukan oleh seberapa banyak jumlah orang bertaqwa pada komunitas atau bangsa tersebut.

Terhadap hal ini, al-Qur’ān al-Karíem telah menegaskan bahwa: “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan”. (Q.S. al-A’rāf:96). Ayat ini menegaskan bahwa keberadaan orang bertaqwa di tenagh-tengah suatu masyarakat atau suatu bangsa, telah menjadi salah satu kata kunci bagi pencapaian kemajuan serta keberkahan bagi masyarakat atau bangsa tersebut.

Menunjuk kepada hal di atas, agaknya penting untuk melihat sejauh mana keterhubungan antara ketaqwaan atau keberadaan orang bertawa dengan tingkatan produktivitas masyarakat atau bangsa yang seterusnya menjadi salah satu tolok ukur bagi kemajuan masyarakat atau bangsa tersebut. Dimana semakin produktif suatu masyarakat atau suatu bangsa, maka sakin besar pula peluang masyarakat atau bangsa tersebut untuk lebih maju dan lebih baik. Untuk itu penting untuk menyederhanakan makna taqwa lewat pemilihan idiom-idiom yang lebih operasional dan lebih taktis, agar taqwa dan orang bertaqwa benar-benar dapat menjadi modal utama dalam penigkatan produktivitas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan dslam konteks peradaban bumi.

DARI TAQWA MENUJU PRODUKTIVITAS

Mengusung istilah taqwa ketika berbicara tentang kemajuan suatu masyarakat atau bangsa, masih saja menyisakan diskursus. Bahkan tidak sedikit orang yang berpandangan bahwa tawqa atau ketaqwaan hanya menyangkut urusan individu saja dan itu pun sebatas hubungan seorang hamba secara vertikal dengan Allah Swt. Pendirian semacam ini lah yang kemudian mengakibatkan idiom tawqa menjadi tidak populer dalam kajian-kajian pembangun dan peradaban tentunya. Padahal taqwa atau orang bertaqwa sendiri diperlukan dalam konteks pembaharuan dan perbaikan bumi atau peradaban mulia di bumi.

Memang, dalam perspektif Teologi Islam, maka orang-orang bertaqwa (al-muttaqūn) adalah mereka yang telah berhasil mengikatkan dirinya dengan komitmen dan kecintaan kepada Allah Swt dan Rasulullah Saw, dimana berdasarkan ikatan itu maka mereka hanya mengerjakan apa saja yamg disukai Allah Swt dan Rasul-Nya serta meninggalkan atau bahkan membenci apa saja yang dibenci oleh Allah Swt dan Rasul-Nya Saw. Dilihat pada definisi ini, maka taqwa sejatinya telah memiliki makna dan posisi penting dalam kehidupan baik dalam kontrks individu, masyarakat, maupun suatu bangsa.

Keterpautan seorang hamba dengan Allah Swt dalam konteks taqwa dapat berlaku melalui empat (4) jalur atau suluk, yakni: (1) al-murāqabah= upaya mendekat kepada Allah Swt, lewat membangun kesadaran bahwa tiada jarak ataupun sekat antara kita dengan Allah Swt dan Rasulullah Saw baik secara ruang maupun waktu; (2) al-ma’rifah= ulapaya mengenali hakikat diri, hakikat Rasulullah Saw, sertah hakikat Allah Swt, hingga terbangun kesadaran tentang adanya keterhubungan yang amat kuat secara eksistensial (man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu); (3) al-mahabbah: upaya menjalin cinta, hingga terbangun kesadaran bahwa kita akan selalu tenggelam dalam cinta dan kerinduan (al-‘syq) kepada Allah Swt dan Rasulullah Saw; dan (4) al-ittihad: upaya meniru karakter Allah Swt, karakter Rasulullah Saw, agar dapat merepresentasi tugas-tugas kehambaan, kekhalifaan, serta sebagai murid dan pewaris Rasulullah Saw.

Lewat empat (4) jalur ketaqwaan tersebut, maka seorang yang bertaqwa akan mewadahi pengejawantahan benerapa prinsip dan nilai mulia yang dibutuhkan dalam membangun produktivktas dan peradaban mulia di bumi. Terhadap hal ini, al-Qur’ān telah memberikan beberapa isyarat sebagai berikut: (1) al-Qur’ān menegaskan bahwa penegakan keadilan di bumi hanya mungkin dilakukan oleh orang yang bertaqwa sehingga keadilan mennadi identik dengan ketaqwaan (Q.S al-Maidah:8); (2) komitmen menunaikan janji hanya mungkin dilakukan oleh mereka yang disukai Allah Swt dan Rasul-Nya yakni mereka yang bertaqwa, sehingga penepatan janji identik dengan ketaqwaan (Q.S. Ali Imran:76);

(3) kelapangan dada untuk memaafkan dan menerima kelemahan sesama hanya mungkin dilakukan oleh mereka yang bertaqwa, sehingga kemaafan dan demokras menjadi identik dengan ketaqwaan (Q.S. al-Baqarah: 273); (4) bersikap lurus serta teguh hati (istiqāmah) sangat disukai oleh Allah Swt dan Rasul-Nya Saw dan hanya dapat dijaga oleh mereka yang bertaqwa, sehingga dua sikap ini menjadi identik dengan ketaqwaan (Q.S.  al-Taubah: 7); (5) memiliki kesabaran yang tinggi, selalu siaga serta berusaha agar senantiasa beruntung merupakan sikap yang disukai oleh Allah Swt dan Rasul-Nya Saw dan hanya mungkin dimiliki oleh mereka yang bertaqwa, sehingga sikap-sikap ini menjadi identik dengan ketaqwaan (Q.S. Ali Imran: 200).

Berdasarkan uraian di atas, tampak dengan jelas bahwa aktualisasi dari taqwa telah lebih banyak yang menyangkut kehidupan dan peradaban dunia dengwn tetap berbasis kedekatan, ketaatan, dan kecintaan kepada Allah Swt dan Rasulullah Muhammad Saw. Bahkan, sebagai penghulu orsng-orang bertaqwa, Rasulullah Saw, telah menyimpulkan karakter-karakter ketaqwaan itu dalam akhlak Beliau yang luhur dan penuh keteladanan, meliputi: (1) al-siddīq= konsisten kepada kebenaran di tengah dialektika ide, sosial politik, dan peradaban; (2) al-amānah: mengutamakan kejujuran, mengharamkan pengkhianatan, serta mengedepankan rasa saling percaya dalam memimpin,  berorganisasi, bermasyarakat, dan berbangsa; (3) al-tablīgh: membangun dan menjadikan keterbukaan, tranparansi, dialog dan diskusi sebagai wadah dan strategi aksi dalam penyikapan terhadap dinamika ide, isu, maupun ekonomi, sosial dan politik yang dihadapi; dan (4) al-Fathānah: cerdas, penuh pertimbangan, mengedepankan pemikiran kritis, penuh inovasi, serta kreasi dalam memecah kebuntuan atau stangansi di berbagai aspek kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.

Lewat implementasi empat (4) prinsip utama dari akhlak mulia Rasulullah Saw sebagaimana diuraikan di atas, di dalam kehidupan sehari-hari, dapat berarti implementasi ketaqwaan yang melaluinya kita akan mampu menghadapi dan mengatasi setiap persoalan yang muncul dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat dsn berbangsa. Sikap-sikap ini tidak hanya sekadar hadir untuk merespon kasus atau fenomena yang muncul, tetapi juga akan dapat menginspirasi serta menstimulasi lahirnya kreativitas, terobosan, bahkan lompatan-lompatan yang dapat memecah kebuntuan serta stagnansi yang mungkin dihadapi. Karena itu, produktivitas yang dimaksud dalam konteks ketaqwaan, tidak hanya identik dengan peningkatan jumlah atau angka pada produksi barang dan jasa, tetapi lebih luas tentang peningkatan produksi ide, gagasan, nilai, motivasi, inspirasi, resolusi yang dibutuhkan untuk mengatasi persoalan yang ada serta mengantisipasi yang mungkin datang.

PENUTUP

Karakter taqwa mestilah produktif karena pada satu sisi terpaut dengan Allah Swt yang Maha Dinamis (kullu yaumin Huwa fī sya’n: Q.S. al-Rahmān:29) sehingga tidak akan pernah menemukan jalan buntu apalagi stagnan, dan lada sisi lain ia berada di tengah dinamika ide dan dinamika sejarah yang berlari sedemikian kencang dalam persaingannya dengan waktu. Bahkan, dalam konteks kehidupan sekarang dimana kita sedang berada berhadap-hadapan dengan relativitas ruang, waktu, bahkan nilai, maka menjadikan karakter taqwa sebagai garda depan dalam mengawal pembangunan bangsa dan peradaban mulia di bumi menjadi sangat rasional.

Untuk tujuan itu, masih diperlukan keberanian kita untuk mengkuantifikasi jumlah orang bertaqwa yang bertambah setiap tahun pasca Ramadhan, umtuk selanjutnya dapat mengukur tingkat implememtasi karakter-karakter ketaqwaan tersebut dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Taqwa atau metaqwaan, tidak boleh lagi dipandamg sebagai sebatas modal ukhrawi yang bersifst personal, tetapi harus dilihat sebagai modal sosial (social capital), modal bangsa (nations capital), bahkan modal peradaban (civilization capital) yang mesti dimiliki agar dapat menjadi lebih maju dan lebih produktif. Wllāhu A’lam.

Pos terkait