Dinamika Kepatuhan Pesantren, Antara Keterkaguman dan Skeptisisme

Skeptisisme Santri

Dinamika Kepatuhan PesantrenPesantren, sebagai institusi yang berorientasi pada moral dan spiritual, berhasil merebut hati sebagian besar masyarakat. Fenomena ini sungguh luar biasa, terutama mengingat persepsi historis pesantren sebagai pendidikan yang tertinggal.

Perjalanan transformasi institusi ini, ditandai dengan renovasi berbagai aspek, termasuk metode pengajaran, mata pelajaran yang diajarkan, dan kolaborasi antardisiplin keilmuan yang jarang ditemui di sekolah umum, telah berkontribusi pada keterpilihan mereka. Keberhasilan ini dapat dikaitkan dengan faktor-faktor seperti ketekunan beragama, tradisi kepatuhan, dan hubungan unik antara santri dan kyai.

Bacaan Lainnya

Keberhasilan pesantren dalam mendapatkan simpati masyarakat bersumber dari tradisi kepatuhan. Kepatuhan ini tidak hanya terbatas pada tugas keagamaan, melainkan juga mencakup hubungan antara santri dan kyai.

Ikatan emosional antara guru dan murid menjadi aspek kunci yang membedakan pesantren dari institusi pendidikan lain. Para sarjana seperti Karel A. Steenbrink dari Belanda telah menyatakan keterkagumannya terhadap kejujuran santri, keindahan lantunan ilahi yang didengar setiap hari, dan interaksi sosial di dalam pesantren.

Namun, tradisi kepatuhan ini telah menjadi bahan kritik. Beberapa kritikus berpendapat bahwa budaya kepatuhan di pesantren sangat bergantung pada peraturan normatif, menekankan kepatuhan melalui tindakan disipliner daripada memupuk kesadaran moral dan emosional.

Badrut Tamam, dalam bukunya “Pesantren, Nalar, dan Tradisi,” melakukan pemeriksaan kritis terhadap budaya kepatuhan di pesantren. Tamam berpendapat bahwa kepatuhan seringkali berasal dari penggabungan dua aspek: kepatuhan doktrinal dan kesadaran mitologis. Dalam konteks ini, kepatuhan tidak hanya berdasarkan pertimbangan moral atau emosional, tetapi lebih dominan bersifat normatif.

Sifat normatif kepatuhan bergantung pada peraturan institusi, di mana pelanggaran akan dihadapi dengan sanksi yang sesuai. Kerangka kerja ini membatasi otonomi individu dan pemikiran kritis, menciptakan budaya di mana santri mematuhi tanpa mempertanyakan otoritas. Selain itu, kesadaran mitologis, yang mengagungkan kyai hampir seperti makhluk ilahi, turut mempengaruhi kepatuhan santri.

Penghambatan pemikiran kritis di antara santri, ditegakkan melalui aspek normatif dan mitologis kepatuhan, menimbulkan kekhawatiran. Penyalahgunaan potensi kepatuhan ini, ditambah dengan pengagungan berlebihan terhadap kyai, dapat menyebabkan praktik-praktik etika yang meragukan. Kasus pelecehan seksual di dalam pesantren menjadi contoh bagaimana sistem kepatuhan doktrinal dapat dimanfaatkan untuk keuntungan pribadi.

Pengaruh kepatuhan pesantren tidak hanya terbatas pada ranah keagamaan, tetapi juga mencakup aktivitas politik, terutama selama pemilu. Beberapa pemimpin pesantren mungkin memaksa santri untuk mendukung kandidat politik tertentu dengan klaim berkah ilahi untuk kandidat yang dipilih. Manipulasi politik semacam ini tidak hanya meredam pemikiran kritis, tetapi juga melanggar hak konstitusional individu untuk membuat pilihan politik yang independen.

Meskipun tradisi kepatuhan pesantren memiliki aspek yang patut diapresiasi, penting untuk mengkaji dan mengatasi potensi risikonya. Sifat normatif kepatuhan, yang dipadukan dengan kesadaran mitologis, menimbulkan tantangan terhadap pemikiran kritis dan otonomi.

Para sarjana dan pemimpin agama seharusnya bekerja sama untuk memastikan bahwa tradisi kepatuhan digunakan secara bijaksana, mempromosikan nilai-nilai moral dan etika sambil tetap menghormati hak dan otonomi individu. Menyeimbangkan tradisi dengan perspektif modern dan inklusif akan berkontribusi pada dampak positif yang berkelanjutan pesantren dalam masyarakat.

Pos terkait